Sabtu, 10 Juli 2010

Yogyakarta, the real about JOGJA

apa yang kamu tahu tentang Jogja?salah satu tujuanmu saat liburan?kota pelajar?kota budaya?
dan apa yang terlintas di pikiranmu ketika ada orang menyebut kata jogja?
MAlioboro?kaliurang?Keraton?TAman sari? atau parang Tritis?

hmm, Jogja, seperti juga JAkarta atau surabaya (dan kota besar lainnya) juga punya sisi buram dan samar (saya tak mau menjustifikasi dengan menyebutnya kelam). saya pernah secara tak sengaja mengunjungi kampung di pinggiran kota Yogjakarta, di bantaran Kali Code (saya lahir danm besar di Jogja tapi saya baru tahu saat itu ternyata ada sisi jogja yang tidak pernah ada dalam bayangan saya sebelumnya). kampung Tungkak namanya. berada di pinggiran barat kota Yogyakarta, kampung ini punya bnetuk unik. ada yang di sebut Tungkak depan, di mana warganya bisa dibilang hifup berkecukupan, Dan ada Tungkak belakang di mana warganya terpinggirkan, tak hanya jadi warga kelas dua mereka juga di kucilkan.
wilayah Tungkak depan dan belakang bagai bumi dan langit, dari segi penataan kampung terlihat jelas perbedaannya. tungkak depan lebih rapi dan bersih, sedangkan bagian belakang selain sangat padat dan rapat, kumuh juga tidak nyaman untuk hunian.
Di Tungkak belakang itulah berkumpul berbagai macam orang2 yang bekerja di sektor informal, jangan bayangkan jika mereka bekerja sebagai wiraswastawan, atau karyawan dan lainnya. Bayangkan pencopet, pedagang kaki lima, waria, pembantu rumah tangga, tukang pijat, pengangguran, pengamen, pengemis, wts dan lainnya berkumpul dalam satu kampung...

kunjungan saya ke Tungkak benar2 membuka mata saya mengenai wajah jogja yang sebenarnya..karena selama ini saya melihat Jogja hanya dari depan, bukan dari sisi lain. dan ngenesnya, keadaan seperti itu tak hanya dapat di jumpai di kampung Tungkak saja, hampir seluruh wilayah kampung pinggiran jogja punya stigma negatif yang melekat karena penghuni kampung itu dianggap 'bukan warga baik-baik'.

yang jadi pertanyaan saya adalah, mana yang lebih dulu ada, stigma negatif karena penduduk kampung itu dianggap bukan warga baik, atau penduduk kampung itu menjadi warga kelas dua lebih dulu karena adanya stigma negatif?

apapun itu, Jogja tak selamanya mulus, teman

pandanglah kubus dari berbagai sisi

Prologue

Dunia ini ibarat kata sebuah sebuah lempeng magnet besar dimana kekuatannya mengkutub di dua buah ujung yang berbeda. Kutub kekuatan tersebut saling bertolak belakang dan adu tolakan. si Utara tidak pernah mau menggunjungi si Selatan begitu sebaliknya, si Selatan enggan untuk menyambangi si Utara. Namun demikian, dunia ini dibentangi sebuah garis khatulistiwa dimana garis ini menjadi batas yang sangat tipis untuk mempertemukan si Utara dan si Selatan. Seperti juga Yin dan Yang, keduanya dibatasi gradasi batas halus yang mungkin tidak terlihat dalam sekilas pandang. Yap, perbedaan tetaplah perbedaan. Namun perbedaan tidak seharusnya menyediakan ketimpangan akan tetapi keseimbangan. Lalu bagaimanakah menciptakan persamaan dalam perbedaan? serta bagaimanakah Demokrasi bisa jadi titik equilibrium? (terinspirasi dari pengertian multikulturalisme ala Parsudi Suparlan)